Meniti Iman Menggapai Persaudaraan
MENITI IMAN MENGGAPAI PERSAUDARAAN
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Kaum Muslimin dewasa ini dalam keadaan carut marut dan berpecah belah. Kata ukhuwah (persaudaraan) pun mencuat dan dikumandangkan di mana-mana dengan aneka ragam pengertiannya. Banyak kaum Muslimin mendambakan terwujudnya ukhuwah ini seperti pernah terwujud di masa lampau. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut akhirnya banyak opini dilontarkan dan teori pun dikonsepkan. Bahkan tidak sedikit yang sudah mencoba dan mengusahakannya dengan beragam konsep dan teori. Namun kadang mereka melupakan konsep Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan digariskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab suci-Nya yang paling agung yaitu al-Qur`an. Atau bisa jadi karena ketidaksabaran mereka dalam menunggu hasilnya. Karena itu perlu adanya pencerahan tentang masalah ini.
Ini adalah sedikit upaya dan partisipasi menyampaikan konsep tersebut secara ringkas, dengan mengambil dasar al-Qur`an dan Sunnah serta pernyataan para ulama. Semoga bisa menjadi sebuah pencerahan kepada kaum Muslimin untuk bisa menggapai ukhuwah imaniyah yang dimaksud.
Persaudaraan Iman Bukan Sekedar Berkumpulnya Tubuh.
Banyak orang memandang persaudaraan identik dengan kumpulnya tubuh dalam satu organisasi atau kelompok. Hal ini jelas keliru, sebab sebenarnya dasar persaudaraan iman adalah kesatuan hati kaum Muslimin, bukan berkumpulnya tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat pada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur`an yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan persaudaraan kaum Muslimin dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ) tidak dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَكُمْ). Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat persatuan hati menjadi sebab persaudaraan iman dan bukan kepada persatuan tubuh.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Persatuan hati adalah poros ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman) bukan persatuan tubuh. Berapa banyak umat yang berkumpul tubuhnya namun hati mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang orang Yahudi:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.[al-Hasyr/15:13]
Tidak ada faedah berkumpulnya tubuh dengan hati yang berpecah belah. Faedah bersatunya hati adalah berkumpulnya hati, walaupun tubuhnya saling berjauhan. Berapa banyak orang yang memiliki hubungan cinta dan persahabatan denganmu namun ia jauh darimu. Dan berapa banyak juga orang yang sebaliknya. Kamu merasa ia bermuka dua dan di antara kamu dengannya tidak ada cinta dan persahabatan. Padahal ia berdampingan denganmu seperti benda dengan bayangannya. Jadi yang penting adalah hati. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
Maka Allah mempersatukan hatimu,” [Ali Imrân/3:103] [1]
Jelaslah persaudaraan terjadi dengan adanya keterikatan antar kaum Muslimin yang dilandasi ikatan agama Islam. Ikatan yang mengikat kuat hati kaum Muslimin seperti satu tubuh yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
الْمُؤْمِنُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنْ اشْتَكَى رَأْسُهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
Kaum mukminin seperti satu orang, jika kepalanya sakit maka seluruh tubuh merasakan demam dan tidak bisa tidur. [Riwayat Muslim]
Persaudaraan ini bukan persaudaraan karena nasab atau fanatisme golongan (hizbiyah) tapi persaudaraan aqidah dan iman. Oleh karena itu Syaikh Muhammad al-Amîn as-Syingqîti rahimahullah menyatakan: “Secara umum tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin, bahwa ikatan yang mengikat di antara penduduk bumi dan yang mengikat antara penduduk bumi dan langit adalah kalimat Lâ ilâha Illa Allâh.”[2]
Dengan demikian jelaslah ikatan persaudaraan kaum Muslimin adalah bersatunya hati mereka dalam menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Kalimat tersebut ditegakkan dengan iman dan ketakwaan sehingga menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukan hati mereka.
Persaudaraan Iman anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada seorangpun yang dapat menyatukan hati manusia satu dengan lainnya, baik itu nabi maupun para ulama atau yang lainnya. Hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang menyatukan hati-hati mereka dengan hikmah dan ke Maha perkasaan-Nya. Betapa tidak, Dia-lah yang telah menyatakan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْٓ اَيَّدَكَ بِنَصْرِهٖ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَۙ – وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْۗ لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al- Anfâl/8:62-63].
Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Mereka bersatu dan bersaudara serta bertambah kuat dengan sebab persatuan tersebut. Itu bukanlah hasil usaha seorang dan dengan satu kekuatan melainkan (hanya) dengan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Walaupun kamu telah membelanjakan emas dan perak serta selainnya yang ada di bumi ini seluruhnya untuk menyatukan hati mereka setelah perselisihan dan perpecahan yang parah itu, tentulah kamu tidak dapat mempersatukannya. Karena yang mampu menpersatukan hati hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dengan sangat jelas dalam firman-Nya:
وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; [Ali Imrân/3:103]
Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli –Hafizhahullâh– menyatakan: Dengan rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersatukan hati kaum Mukminin di atas ketaatan dan manhaj-Nya. Pantaslah disyukuri atas nikmat ini dengan cara cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kokoh (Islam).[4]
Demikianlah persaudaraan tersebut Allah Azza wa Jalla karuniakan kepada kaum Mukminin yang bertaqwa dan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak dikaruniakan kepada orang-orang yang melanggar ajaran syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , sehingga tidak akan terwujudkan dengan mengorbankan aqidah dan agama.
Kiat Menggapainya.
Namun ingat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan satu kaum tanpa ada usaha dari mereka untuk merubah keaadannya. Inilah yang dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [ar-Ra’d/13:11].
Sehingga untuk mendapatkan persaudaraan iman tersebut dibutuhkan usaha dari kaum Muslimin untuk merubah keadaan mereka sekarang. Mereka harus berusaha untuk menjalankan sebab-sebab persatuan hati dengan meniti iman dan takwa.
Di antara cara menggapainya adalah:
- Meluruskan Aqidah dan cara beragama dengan melakukan tashfiyah (pemurnian agama) dan tarbiyah (pembinaan umat di atas ajaran agama yang murni). Sebab persaudaraan iman yang pernah ada dahulu dihancurkan oleh kebid’ahan dan penyimpangan agama.
Syaikh Muhammad al-Basyîr al-Ibrâhimi menjelaskan :” Setelah kita berfikir, meneliti dan mengkaji keadaan umat dan sumber penyakit-penyakitnya. Kita benar-benar mengetahui bahwa jalan-jalan kebid’ahan dalam Islam adalah pemecah belah kaum Muslimin. Juga kita mengetahui ketika kita melawannya berarti melawan seluruh keburukan”. [5]
Jelas, persaudaraan iman harus tegak di atas kemurnian ajaran Islam dan pembinaan umat diatasnya. Kemudian terwujudnya persaudaraan iman di atas ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengantarkan kepada kejayaan Islam sebagaimana pernah dicapai para pendahulunya.
Tentang tasfiyah dan tarbiyah ini Syaikh al-Albâni menyatakan: “Apabila kita ingin kejayaan dari Allah Azza wa Jalla , diangkat dari kerendahan serta dimenangkan dari musuh-musuh kita, maka tidak cukup hanya dengan meluruskan pemahaman dan menghilangkan pemikiran-pemikiran yang menyelisihi dalil-dalil syar’i….,ada faktor lagi yang sangat penting yaitu beramal; karena ilmu adalah sarana untuk beramal. Apabila seorang telah belajar dan ilmunya sudah tertashfiyah, kemudian tidak beramal dengannya, maka secara otomatis ilmu tersebut tidak menghasilkan buah. Sehingga harus menyertakan ilmu ini dengan amal. Sudah menjadi kewajiban para ulama untuk mengurus pembinaan kaum Muslimin yang baru di atas dasar ketetapan yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Jangan membiarkan manusia berada di atas pemikiran dan kesalahan yang mereka warisi. Karena sebagiannya pasti batil menurut kesepakatan para ulama.,.Sebagiannya masih diperselisihkan dan memiliki kekuatan dalam penelitian dan ijtihad serta ra’yu dan sebagian ijtihad dan ra’yu ini menyelisihi sunnah. Setelah tashfiyah terhadap perkara-perkara ini dan menjelaskan semua kewajiban memulai dan berjalan padanya, maka harus ada tarbiyah (pembinaan) terhadap orang-orang baru di atas ilmu yang shahih ini. Pembinaan inilah yang akan membentuk masyarakat Islam yang bersih dan kemudian akan tegak daulah Islam untuk kita. Tanpa dua hal ini, yaitu ilmu yang shahih dan pembinaan yang benar di atas ilmu yang shahîh ini mustahil –menurut keyakinan saya- akan tegak tiang-tiang Islam atau hukum Islam atau Negara Islam.[6]
Beriman dan bertakwa dengan benar yang dihasilkan dari proses at-tashfiyah dan tarbiyah di atas. Sebab persaudaran ini didasarkan kepada iman dan takwa seperti dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. [al-Hujurât/49:10].
Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di t menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “Ini adalah ikatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan sebagai pengikat antar orang-orang yang beriman. Apabila didapatkan pada siapapun juga yang ada diseluruh dunia memiliki iman kepada Allah Azza wa Jalla , malaikat, kitab-kitab suci, para rasulnya dan hari akhir (dengan benar (pen)), maka ia adalah saudara bagi orang-orang yang beriman. Persaudaraan yang mengharuskan kaum Mukminin mencintai (kebaikan-red) untuk mereka sebagaimana mereka mencintai (kebaikan-red) untuk diri mereka sendiri.[7]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan hubungan tersebut harus ditegakkan dengan takwa dalam firman-Nya:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.[az-Zukhruf/43:67]
Kecintaan orang-orang bertakwa kekal dan terus bersambung dengan sebab kesinambungan orang yang mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala .[8]
- Dasar persaudaraan iman adalah ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai konsekwensi kesempurnaan iman dan takwa. Sebab persaudaraan iman ini adalah ibadah yang tidak diterima tanpa keikhlasan.
- Komitmen dengan manhaj Islam yang benar dan ketentuannya yang merupakan kesempurnaan ikhlas. Sehingga bersatu dan berpisahpun di atas manhaj Allah Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِن دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu akan mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyatan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [at-Taubah/9:16]
Demikian juga sabda beliau kepada 7 orang yang mendapatkan naungan-Nya:
وَرَجُلاَنِ تَحَابَا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
Dua orang saling mencintai di jalan Allah berkumpul dan berpisah di atasnya [Muttafaqun ‘alaihi].
Syaikh Salîm bin ‘Ied al Hilâli Hafizhahullâh mengomentari hal ini dengan menyatakan: “Berpegang teguh kepada manhaj Islam yang benar dengan semua yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan. Penerapan teladan baik dari kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah standar (kebenaran). Bukan berpegang teguh kepada hubungan nasab, tokoh, organisasi, partai, madzhab, kelompok, pemerintahan atau kebangsaan. Sesungguhnya kelemahan dan ketidak mampuan yang menggerogoti kehidupan Islam bersumber dari sikap penentangan dan berpaling dari standar (kebenaran) ini. Atau juga usaha-usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.”[9]
- Melaksanakan tugas nasehat-menasehati yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komitmen terhadap manhaj yang shahîh. Oleh karena itu para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berbai’at dengannya, sebagaimana dijelaskan Jarîr bin Abdillâh Radhiyallahu anhu :
بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Aku berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim. [HR al-Bukhâri 1/20]
- Tugas nasehat-menasehati tentunya menjadikan kaum Muslimin bekerjasama dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.[al-Mâidah/5:2].
Kerja sama yang baik ini akan menghasilkan sikap solidaritas terhadap saudaranya seiman.
- Memiliki solidaritas, berkorban dan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup saudaranya, sebagai wujud kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna iman salah seorang kalian hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya. [Muttafaqun ‘Alaihi]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى
Permisalan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembuti seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur . [Muttafaqun ‘Alaihi]
Demikianlah, antara lain sebab terwujudnya ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman). Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan dan menggapainya.
Wabillâhi taufîq.
Marâji’
- Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn , cetakan pertama tahun 1426 H, Dâr ibni al-jauzi, KSA .
- Adhwâ’ al-Bayâni Fî Idhah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn bin Muhammad al-Mukhtâr asyingqîthy, cetakan tahun 1426 H, Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Madinah.
- Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di
- At-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi
- at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
- Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli, cetakan pertama tahun 1421 H, Dâr ibnu al-Qayyim.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Tafsir al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn 1/596-597
[2] Adhwâ’ al-Bayân 3/298
[3] Taisîr al-Karîmir-Rahmân hlm 325
[4] Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli, hlm 20.
[5] al-Ashâlah edisi 1 hlm 34 dinukil dari at-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi hlm
[6] at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha hal 29-31
[7] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm 800
[8] Ibid hlm 796
[9] Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillahi , hlm 20.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/29802-meniti-iman-menggapai-persaudaraan-2.html